Sebagaitambahan informasi, pemerintah memiliki aturan ketat dalam mencegah alih fungsi lahan pertanian Indonesia, yaitu dengan mencantumkan pasal pidana pada Undang-undang 41 tahun 2009 tentang lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B). Aturan ini memiliki turunan amanat mendasar yang tertuang dalam Perda RTRW dan atau RDTR Kabupaten/Kota.
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor pendorong dan menyusun rekomendasi pengendalian alih fungsi lahan sawah di Kota Tasikmalaya. Metode yang digunakan adalah deskriptif survey. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Luas lahan pertanian Kota Tasikmalaya hektar, terdiri dari lahan sawah hektar dan lahan pertanian bukan sawah hektar. Berdasarkan sistem pengairannnya terdiri dari sawah irigasi hektar dan sawah tadah hujan 938 hektar. Selama tahun 2008-2015 tercatat alih fungsi lahan sawah seluas 222 hektar. Fakta dilapangan luas sawah yang beralih fungsi lebih luas dari yang tercatat, karena cukup banyak lahan sawah yang tidak tercatat resmi beralih fungsi. Faktor pendorong terjadinya alih fungsi lahan sawah terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi Faktor Teknis, Ekonomis dan Sosial. Sementara faktor eksternal meliputi laju pertumbuhan penduduk, kebijakan pembangunan pemerintah daerah yang secara spasial termuat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW. Rekomendasi pengendalian alih fungsi lahan sawah disusun berbasiskan pada faktor-faktor yang menyebabkan alih fungsi lahan sawah tersebut. ABSTRACT This study aims to identify the driving factors and formulate recommendations for controlling the conversion of wetland functions in the City Tasikmalaya. The method used is descriptive survey. The research concludes that Tasikmalaya City's agricultural land area is 12,519 hectares, consisting of 5,993 hectares of paddy fields and non rice field of 6,526 hectares. Based on the irrigation system consists of Irrigated rice fields of 5,055 hectares and 938 hectares of rainfed rice fields. During 2008-2015 there was a 222 hectare land conversion. The fact that field paddy fields are switched to functions is wider than recorded, since quite a lot of unregistered rice fields have officially switched functions. The factors driving the occurrence of land conversion function consist of internal and external factors. Internal factors include Technical Factors, Economical and Social. While external factors include population growth rate, local government development policies spatially contained in the Spatial Plan RTRW. Recommendations for controlling the conversion of paddy field functions are based on the factors that caused the land conversion. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Jurnal AGRISTAN Volume 1, Nomor 1, Mei 2019 12 FAKTOR-FAKTOR PENDORONG ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI KOTA TASIKMALAYA DRIVING FACTORS OF TRANSFER FUNCTION WETLAND IN TASIKMALAYA CITY Suprianto*1, Eri Cahrial2, Hendar Nuryaman3 1,2,3 Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Siliwangi *Email korespondensi supriantoprie56 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor pendorong dan menyusun rekomendasi pengendalian alih fungsi lahan sawah di Kota Tasikmalaya. Metode yang digunakan adalah deskriptif survey. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Luas lahan pertanian Kota Tasikmalaya hektar, terdiri dari lahan sawah hektar dan lahan pertanian bukan sawah hektar. Berdasarkan sistem pengairannnya terdiri dari sawah irigasi hektar dan sawah tadah hujan 938 hektar. Selama tahun 2008-2015 tercatat alih fungsi lahan sawah seluas 222 hektar. Fakta dilapangan luas sawah yang beralih fungsi lebih luas dari yang tercatat, karena cukup banyak lahan sawah yang tidak tercatat resmi beralih fungsi. Faktor pendorong terjadinya alih fungsi lahan sawah terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi Faktor Teknis, Ekonomis dan Sosial. Sementara faktor eksternal meliputi laju pertumbuhan penduduk, kebijakan pembangunan pemerintah daerah yang secara spasial termuat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW. Rekomendasi pengendalian alih fungsi lahan sawah disusun berbasiskan pada faktor-faktor yang menyebabkan alih fungsi lahan sawah tersebut. Kata kunci Faktor-faktor, Alih Fungsi, Sawah ABSTRACT This study aims to identify the driving factors and formulate recommendations for controlling the conversion of wetland functions in the City Tasikmalaya. The method used is descriptive survey. The research concludes that Tasikmalaya City's agricultural land area is 12,519 hectares, consisting of 5,993 hectares of paddy fields and non rice field of 6,526 hectares. Based on the irrigation system consists of Irrigated rice fields of 5,055 hectares and 938 hectares of rainfed rice fields. During 2008-2015 there was a 222 hectare land conversion. The fact that field paddy fields are switched to functions is wider than recorded, since quite a lot of unregistered rice fields have officially switched functions. The factors driving the occurrence of land conversion function consist of internal and external factors. Internal factors include Technical Factors, Economical and Social. While external factors include population growth rate, local government development policies spatially contained in the Spatial Plan RTRW. Recommendations for controlling the conversion of paddy field functions are based on the factors that caused the land conversion. Keywords Factors, Function Transfer, Rice Field FAKTOR-FAKTOR PENDORONG ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI KOTA TASIKMALAYA Suprianto, Eri Cahrial, Hendar Nuryaman 13 PENDAHULUAN Luas lahan sawah perkapita penduduk cenderung semakin sempit, sehingga melahirkan petani-petani gurem dengan luas lahan garapan kurang dari 0,5 hektar. Penguasaan lahan sawah rata-rata di Pulau Jawa dan Bali lebih sempit lagi, yaitu 0,34 hektar per rumah tangga petani. Kondisi ini tentu akan berimplikasi pada tingkat kesejahteraan petani. Permasalahan lain yang tak kalah pentingnya dan menjadi topik kajian ini adalah tingginya alih fungsi lahan sawah menjadi lahan non-pertanian. Laju alih fungsi lahan pertanian pada umumnya sudah sangat mengkhawatirkan, mencapai 100 ribu hektare per tahun, sementara kemampuan pemerintah dan masyarakat dalam pencetakan lahan sawah kurang dari hektar per tahun. Berkaitan dengan kondisi tersebut diatas, untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan perlu dilakukan upaya pengendalian alih fungsi lahan sawah. Upaya tersebut dapat ditempuh melalui perlindungan, dengan mempertahankan dan menambah luas lahan sawah serta menetapkan lahan sawah sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan LP2B. Penetapan LP2B ini dimaksudkan agar lahan pertanian yang sudah ada dapat dipertahankan keberadaannya bahkan dapat ditingkatkan baik luasan secara makro maupun luas pengelolaan lahan per rumah tangga petani. Pemerintah daerah hendaknya tidak terlalu mudah memberikan peluang terjadinya alih fungsi lahan khususnya lahan sawah. Pemerintah daerah wajib mempertahankan lahan sawah agar fungsinya tetap sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan. Namun demikian upaya Perlindungan Lahan Pertanian melalui Undang-Undang No. 41 tahun 2009 sampai saat ini belum sepenuhnya efektif dan sinergi dengan rencana tata ruang. Inti permasalahan kajian ini adalah adanya kesenjangan antara kebutuhan lahan yang semakin luas untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan yang semakin besar jumlahnya, namun disisi lain kebutuhan lahan untuk aktivitas diluar pertanian tidak kalah besarnya. Dalam kaitannya dengan kesenjangan tersebut, kajian ini bertujuan untuk Mengidentifikasi luas dan klasifikasi lahan sawah eksisting di Kota Tasikmalaya, Menghitung luas lahan sawah yang beralih fungsi ke penggunaan lain, Mengidentifikasi faktor pendorong terjadinya alih fungsi lahan sawah, Menyusun rekomendasi strategi pengendalian alih fungsi lahan sawah. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif survey, yaitu penelitian yang memberikan gambaran dari suatu gejala dan pokok Jurnal AGRISTAN Volume 1, Nomor 1, Mei 2019 14 perhatiannya tertuju pada pengukuran yang tepat dari satu atau lebih variabel dalam satu kelompok atau dalam sampel dari kelompok tertentu itu. Jenis data yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari responden secara langsung, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi literatur dan dokumen yang diterbitkan oleh pemerintah maupun swasta yang ada kaitannya dengan obyek kajian. HASIL DAN PEMBAHASAN Alih fungsi lahan pertanian khususnya sawah di Kota Tasikmlaya dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor ekternal. Faktor Internal Faktor internal yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan sawah meliputi faktor teknis, faktor ekonomis dan faktor sosial. 1. Faktor Teknis Faktor teknis yang mempengaruhi karakteristik fisik lahan sawah diantaranya a Sistem pengairan b Jenis tanah, c Kesuburan, d Indeks pertanaman/IP, e Agroklimat, f Produktivitas, dan lain-lain. Tabel 1. Karakteristik Lahan Sawah di Kota Tasikmalaya Aluvial, latosol, podhsolik kuning Sumber Dinas Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya, 2015. * Kesesuaian dengan Syarat dan Kriteria LP2B Diantara berbagai faktor tersebut yang seringkali menjadi pembatas dalam penyelenggaraan usahatani padi adalah kecukupan air, terutama pada lahan sawah yang berada di bagian hilir irigasi di musim tanam gadu. Walaupun klasifikasi lahan sawah tersebut termasuk kategori lahan irigasi, namun seringkali mengalami kekurangan air. Faktor penyebab utamanya karena debit air pada saluran irigasi yang bersangkutan tidak mencukupi untuk mengairi seluruh lahan sawah di bagian hilir. Lahan irigasi yang sering mengalami kekurangan air mudah untuk beralih fungsi. Faktor teknis lain seperti yang telah disebutkan di atas, tidak menjadi pembatas, bahkan memenuhi kriteria dan syarat Peraturan Pemerintah Nomor 1 FAKTOR-FAKTOR PENDORONG ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI KOTA TASIKMALAYA Suprianto, Eri Cahrial, Hendar Nuryaman 15 Tahun 2011, untuk ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan. 2. Faktor Ekonomis Faktor ekonomis yang manjadi pendorong terjadinya alih fungsi lahan sawah adalah skala usahatani dan rentabilitas usahatani. Skala Usahatani. Pengelolaan usahatani yang luasnya kurang dari 1 hektar mencapai proporsi ±93 persen, ±64 persen diantaranya lahan usahatani kurang dari ha; Usahatani yang luasnya hektar ±29 persen; Sementara satuan lahan usahatani yang luasnya lebih dari 1 hektar proporsinya hanya ±7 persen. Usahatani yang tidak mencapai skala ekonomis, saat pengadaan sarana produksi dan menjual hasil produksi akan menanggung biaya yang tinggi per satuan produknya. Pada gilirannya harga produk hasil pertanian yang dihasilkan manjadi kurang bersaing. Petani kecil yang penguasaan lahan usahataninya sempit atau biasa disebut petani gurem, akan mengalami hambatan dalam upaya mengalihkan sistem pengelolaan yang bersifat subsisten ke pengelolaan usahatani yang berorientasi komersial. Kecilnya volume produksi dari setiap satuan usahatani mendorong terbentuknya struktur pasar hasil pertanian yang oligopsoni. Padahal struktur pasar yang oligopsoni melemahkan posisi tawar bargaining position petani di pasar hasil usahatani. Dalam posisi tawar petani yang lemah petani hanya sebagai price taker bukan price maker sebagaimana yang diharapkan. Sumber Data Primer Diolah, 2015 Gambar 1. Proporsi Satuan Usahatani Berdasarkan Luas Garapan di Kota Tasikmalaya Selanjutnya, satuan lahan garapan usahatani yang terlalu kecil tidak akan mampu menjamin kehidupan dan kesejahteraan petani dan keluarganya. Lahan usahatani yang tidak layak secara ekonomis tidak memiliki insentif untuk dikelola dengan sungguh-sungguh oleh petani. Pada gilirannya satuan lahan 64%29% 7%Luas Pengelolaan 1 Ha Jurnal AGRISTAN Volume 1, Nomor 1, Mei 2019 18 usahatani yang terlalu sempit akan lebih mudah beralih fungsi, sementara pengelolanya beralih profesi ke usaha pertanian lain atau alih profesi keluar sektor pertanian. Hal ini selaras dengan Fadholi Hernanto 1984 yang menyoroti pengelola usahatani yang satuan luasnya dibawah sekala ekonomis banyak beralih profesi sementara lahan usahataninya beralih fungsi. Rentabilitas Usahatani. Petani selalu berusaha mencari perpaduan dalam pemanfaatan sumberdaya yang mereka miliki agar mendatangkan keuntungan finansial dari usahataninya, Soekartawi, 1995. Petani dalam usahataninya berharap mendapat penerimaan yang lebih besar dari biaya produksi. Tetapi kenyataannya tidak selamanya sesuai dengan harapan, tidak sedikit petani yang mengalami kerugian. Kerugian yang dialami petani pada umumnya “kerugian yang tidak kentara”. Biasanya petani kurang jeli menghitung biaya-biaya yang mereka keluarkan. Petani hampir tidak pernah menghitung curahan tenaga kerja diri dan keluarganya sebagai komponen biaya uasahatani. Petani juga kadang-kadang tidak memperhitungkan harga jual hasil produksinya yang berlaku di pasaran, karena hasil produksinya dikonsumsi untuk keluarga. Hasil analisis finansial usahatani padi sawah menunjukkan Revenue Cost Rotio R/C lebih besar dari satu R/C>1; yaitu sebesar 1,23 untuk petani penyakap dan 1,51 untuk petani pemilik penggarap. Artinya pengelolaan usahatani dilihat dari rasio penerimaan dengan biaya adalah layak. Namun apabila dilihat secara nominal rata-rata pendapatan laba dari hasil pengelolaan usahatani padi tersebut kurang layak. Laba usahatani tanaman pangan yang dibawa kerumah take home payment pada luas lahan 0,5 hektar Rp. untuk petani penggarap/ musim, dan Rp. untuk petani pemilik/ musim, hal tersebut setara dengan Rp. untuk petani penggarap; dan Rp. untuk petani pemilik. Dalam kondisi seperti tersebut di atas, walaupun usahatani yang dijalankan layak dilihat dari rasio peneriman dengan biaya R/C, namun dilihat dari nominal laba yang diperoleh usahatani tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan keluarga petani. Dengan hanya mengelola usahatani padi sawah yang luasnya kurang dari 0,5 hektar, penghasilan yang diperoleh petani dibawah upah minimum regional UMR. Sebagai catatan UMR Kota Tasikmalaya adalah sebesar Rp. Dalam kondisi penerimaan usahatani tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar keluarga, petani memerlukan sumber pendapatan lain selain dari usahatani. Petani terdorong FAKTOR-FAKTOR PENDORONG ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI KOTA TASIKMALAYA Suprianto, Eri Cahrial, Hendar Nuryaman 19 mencari pekerjaan lain sebagai sumber pendapatan tambahannya, dan tidak tertutup kemungkinan petani beralih profesi. Sementara lahan usahatani yang dikelolanya kurang mendapatkan perhatian, bahkan tidak sedikit yang akhirnya di jual, beralih kepemilikan, yang pada akhirnya terjadinya alih fungsi lahan usahatani ke penggunaan lain. Penerimaan usahatani dibandingkan dengan biaya produksinya R/C relatif rendah jika dibandingkan dengan R/C penerimaan usaha non pertanian industri dan jasa. Sewa lahan, dan tingginya harga tanah di Kota Tasikmalaya membuat banyak pemilik lahan sawah yang mengalihfungsikan lahan usahataninya ke bidang usaha non pertanian. Banyak petani yang menjual lahan usahataninya kepada pemilik modal untuk kegiatan usaha non pertanian. Selain itu karena terdesak kebutuhan keluarga seperti untuk biaya pendidikan, kesehatan seringkali membuat petani tidak mempunyai pilihan lain selain menjual sebagian atau seluruh lahan usahataninya. Penduduk bermatapencaharian pada bidang usaha pertanian di Kota Tasikmalaya mencapai proporsi lebih dari 40 persen. Sementara kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB hanya mencapai ±15 persen. Hal ini menunjukkan bahwa secara agregat curahan sumberdaya dan tenaga kerja di sektor pertanian mendapatkan kompensasi yang relative lebih rendah dibandingkan dengan kompensasi yang diterima untuk curahan sumberdaya dan tenaga kerja pada sektor lain. Kondisi ini merupakan dorongan yang sangat kuat bermigrasinya tenaga kerja dan sumberdaya pertanian ke sektor lain. 3. Faktor Sosial Persepsi masyarakat terhadap lahan pertanian, proses fragmentasi lahan pertanian dan persepsi generasi muda terhadap profesi petani, memiliki kontribusi terhadap terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lain. Persepsi Terhadap Kepemilikan Lahan. Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, pasal 4 ayat 1 dan 2 menentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang dimiliki oleh individu maupun badan hukum. Dinyatakan lebih lanjut dalam pasal 6 bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hak atas tanah pada seseorang tidak dapat dibenarkan apabila tanah itu dipergunakan atau tidak dipergunakan hanya untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah selayaknya bermanfaat bagi kesejahteraan yang memilikinya, juga dapat bermanfaat bagi masyarakat dan negara. Sekalipun penguasaan tanah bestatus hak milik, namun pada saatnya pemerintah Jurnal AGRISTAN Volume 1, Nomor 1, Mei 2019 20 berkepentingan untuk keperluan umum yang lebih tinggi urgensinya, maka pemilik tanah harus menyerahkannya kepada pemerintah untuk keperluan yang lebih besar dari kepentingan individu. Tentu saja penyerahan tersebut melalui prosedur dan administrasi serta kompensasi yang sepadan. Dalam kenyataannya di lapangan masih banyak pihak termasuk para petani yang menganggap hak milik atas tanah adalah “mutlak”, sehingga dapat diartikan penggunaannya tergantung pada kehendak pemiliknya sendiri. Dalam kondisi seperti ini untuk mempertahankan suatu hamparan lahan agar tetap fungsinya sebagai lahan pertanian akan mengalami kesulitan. Tanah pada umumnya dipandang sebagai “asset” bagi pemiliknya. “nilai ekonomi” atas tanah lebih dipahami masyarakat dibandingkan dengan “fungsi sosialnya”. Maka oleh sebab itu dalam kondisi seperti ini lahan pertanian lebih mudah beralih fungsi, sesuai dengan keinginan pemiliknya menjadi peruntukan lain ketika dihadapkan dengan nilai ekonomi. Berdasarkan fenomena tersebut di atas, dalam upaya mewujudkan ketersediaan lahan pertanian, disamping dilakukan melalui pendekatan sosial, juga harus dilakukan dengan pendekatan nilai ekonomis. Pemberian insentif atas kepemilikan lahan-lahan yang difungsikan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan merupakan salah satu pendekatan yang bijak dan harus dipikirkan lebih lanjut implementasinya. Status Pelaku Usahatani. Berdasarkan status penguasaan lahan yang digarapnya, pelaku usahatani dapat digolongkan kedalam empat kategori, yaitu Petani pemilik, petani pemilik penggarap, petani penggarap dan buruh tani. Petani pemilik dengan proporsi ±6% adalah pemilik lahan usahatani namun tidak menggarap lahan usahataninya. Lahan usahatani yang dimiliki digarap oleh penyakap, dengan mendapatkan kompensasi dari orang yang menggarap atau penyakap tersebut. Petani pemilik penggarap ±70% adalah petani yang menggarap lahan usahatani miliknya sendiri; Penggarap/penyakap ±16% adalah orang yang mengerjakan lahan usahatani milik orang lain, termasuk penyewa atau penggadai; Buruh tani ±8% adalah orang yang mendapat upah atas curahan tenaga kerja pada lahan usahatani. Diantara pelaku usahatani tersebut yang paling rentan lahan usahataninya beralih fungsi adalah lahan usahatani dari pelaku usahatani yang berstatus pemilik’ dan penggarap. Pemilik biasanya lebih memandang sebagai aset terhadap lahan usahatani. Nilai ekonomis lebih mendominasi pertimbangan keputusan atas lahan usahataninya. Penyakap mungkin hanya memiliki ikatan emosional FAKTOR-FAKTOR PENDORONG ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI KOTA TASIKMALAYA Suprianto, Eri Cahrial, Hendar Nuryaman 21 Sumber Data Primer diolah, 2015 Gambar 2. Proporsi Status Pelaku Usahatani di Kota Tasikmalaya dengan lahan garapan usahatani namun keputusan atas lahan usahatani yang digarapnya sangat tergantung pada pemilik. Pemilik penggarap selain memiliki ikatan emosional juga memiliki “power” untuk memutuskan perlakuan terhadap lahan usahataninya. Fragmentasi Lahan Pertanian. Fragmentasi lahan pertanian merupakan suatu tahapan proses dalam evolusi pengelolaan pertanian di mana suatu unit usahatani terdiri dari sejumlah persil lahan yang terpisah, terpencar-pencar. Fragmentasi lahan lebih mudah dipahami jika dikaitkan dengan prosesnya. Dalam hal ini, fragmentasi lahan pertanian sebagai proses segregasi spasial menjadi lebih banyak entitas sehingga memengaruhi fungsi optimalnya. Fragmentasi lahan berawal dari pilihan positif pemiliknya, yakni terkait dengan pertimbangan yang didasarkan atas ekspektasi manfaat ekonomis yang dapat dipetiknya ataupun terkait dengan upaya memperkecil risiko yang mungkin akan dihadapinya. Bercermin dari sejumlah kasus menunjukkan bahwa fragmentasi lahan pertanian berkontribusi pada  Terhambatnya peningkatan produktivitas usahatani;  Rendahnya efisiensi pengadaan sarana produksi maupun pemasaran produksi hasil pertanian;  Inefisiensi yang terjadi pada ongkos pengelolaan program berbantuan, subsidi, dan lain-lain di bidang pertanian; Pada gilirannya, fragmentasi lahan pertanian menjadi salahsatu faktor pendorong laju meningkatnya konversi lahan pertanian. Proses alih kepemilikan lahan usahatani dari satu generasi ke generasi merupakan suatu proses alamiah dan menjadi suatu keniscayaan. Secara akumulatif dalam jangka panjang proses tersebut menyebabkan rata-rata satuan luas usahatani yang sudah sempit menjadi semakin sempit. Sementara usahatani yang sempit, berada dibawah skala ekonomis, tidak dapat menjadi tumpuan kehidupan keluarga petani. Rendahnya intensitas pengelolaan usahatani akan menyebabkan produktivitasnya juga rendah. Pada gilirannya usahatani yang tidak dapat menjamin kebutuhan keluarga akan mudah ditinggalkan petani dan lahan usahatani cenderung beralih fungsi. Pemilik6%Pemilik Penggarap Jurnal AGRISTAN Volume 1, Nomor 1, Mei 2019 22 Minat Generasi Muda. Profesi petani adalah profesi yang sangat mulia, dapat menyediakan bahan pangan dan sandang serta perumahan papan untuk banyak orang. Namun seiring dengan berjalannya waktu, ditunjang dengan terjadinya transformasi struktur perekonomian lahan pertanian tidak lagi menjadi simbol status sosial dalam masyarakat. Dalam sudut pandang banyak orang, terutama sudut pandang generasi muda, profesi sebagai petani dianggap kurang bergengsi. Profesi petani dianggap “tidak keren”. Kenyataan ini berakibat pada profesi sebagai petani tidak populer dan kurang diminati generasi muda. Tidak sedikit penduduk yang berprofesi sebagai petani, namun tidak mencantumkan “petani” dalam kartu tanda penduduknya KTP pada identitas pekerjaannya. Persepsi masyarakat terhadap profesi petani seperti ini, menjadikan berusahatani menjadi pilihan terahir sebagai sandaran penghidupan. Selain itu semakin banyaknya patani yang berkeinginan beralih profesi dari petani untuk menekuni usaha dibidang lain, berdampak semakin banyak lahan pertanian pangan, lahan sawah khususnya yang tidak digarap dengan sungguh-sungguh. Lahan yang tidak digarap dengan sungguh-sungguh sangat mudah untuk beralih kepemilikan dan alih fungsi. Semenjak wilayah kajian menjadi daerah otonomi Kota Tasikmalaya, orientasi pembangunan ekonomi daerah tidak lagi berbasiskan pada sektor pertanian. Generasi muda juga lebih memilih profesi di sektor industri dan jasa yang dianggapnya lebih menjamin kehidupan mereka dan memiliki nilai tukar ekonomis yang lebih tinggi. Dalam kondisi seperti ini usahatani termarginalkan. Lahan usahatani cenderung dijual, kepada pemilik modal untuk membangun kegiatan usaha non pertanian sementara hasil penjualan usahatani tersebut oleh penjual lahan digunakan untuk modal usaha di sektor lain. Usahatani on farm khususnya usahatani padi, kurang diminati oleh penduduk yang berusia muda. Kalupun pada umumnya petani masih dalam usia produktif, namun rata-rata >40 sampai 60 tahun. Generasi muda lebih tertarik pada usaha dibidang industri dan jasa, sekalipun hanya sebagai buruh. Kondisi ini merupakan suatu gambaran bahwa sektor pertanian belum mampu memberikan imbalan kompensasi yang setara dengan sektor usaha lain atas sumberdaya dan tenaga kerja yang dicurahkan. Faktor Ekternal Faktor ekternal yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain diantaranya laju FAKTOR-FAKTOR PENDORONG ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI KOTA TASIKMALAYA Suprianto, Eri Cahrial, Hendar Nuryaman 23 pertumbuhan penduduk; dan kebijakan pemerintah daerah. 1. Laju Pertumbuhan Penduduk Laju pertumbuhan penduduk LPP Kota Tasikmalaya sepuluh tahun terakhir mengalami kecenderungan yang menurun. Dari LPP sebesar 1,98 persen pada tahun 2003, dalam lima tahun terakhir berturut-turut menjadi 1,66 persen tahun 2009, menjadi 0,84 persen tahun 2010, menjadi 0,67 persen tahun 2011 dan pada tahun 2014 menjadi 0,48 persen. Walapun LPP mengalami penurunan, jumlah penduduk secara akumulatif, seiring dengan berjalannya waktu akan terus bertambah. Jumlah penduduk Kota Tasikmalaya tahun 2014 adalah jiwa, dengan asumsi LPP sepuluh tahun kedepan adalah konstan, sama dengan LPP tahun 2014. Maka jumlah penduduk Kota Tasikmalaya pada tahun 2025 akan menjadi jiwa. Akumulasi pertambahan jumlah penduduk tersebut mengakibatkan semakin banyak pula sumberdaya lahan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, termasuk didalamnya kebutuhan lahan untuk perumahan dan fasilitas umum. Berdasarkan hasil identifikasi lahan yang beralih fungsi menjadi lahan perumahan di lokasi kajian selama 8 tahun terakhir mencapai 20 hektar; Sedangkan luas lahan yang beralih fungsi menjadi jalan dan jembatan 50 hektar; Fasilitas umum lainnya mencapai 26 hektar dan lain-lain, sehingga jumlah lahan yang beralih fungsi sampai tahun 2014 mencapai seluas 191 hektar. Alih fungsi lahan tersebut akan terus berlangsung seiring dengan berjalannya waktu ditunjang dengan transpormasi dan laju pertumbuhan ekonomi LPE daerah yang semakin baik. Sebagai ilustrasi, dengan asumsi  Setiap suatu keluarga rata-rata membutuhkan lahan untuk membangun rumah pada lahan seluas 8 tumbak;  Berdasarkan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera NKKBS setiap keluarga terdiri dari 4 orang; Berdasarkan konsiderasi tersebut di atas dapat diproyeksikan kebutuhan lahan untuk perumahan setiap tahun, yang berpotensi menggeser lahan pertanian beralih fungsi. 2. Kebijakan Pemerintah Daerah Visi dan misi pembangunan Kota Tasikmalaya, tidak mengisyaratkan sektor pertanian menjadi basis atau setidaknya memiliki peran yang cukup penting dalam pembangunan ekonomi. Sektor pertanian khususnya tanaman pangan tidak menjadi prioritas. Kebijakan ini berpengaruh terhadap keberadaan sumberdaya lahan pertanian. Pengaruh kebijakan umum pembangunan Kota Tasikmalaya terhadap lahan pertanian Jurnal AGRISTAN Volume 1, Nomor 1, Mei 2019 24 pangan dapat dilihat lebih kongkrit dalam arahan rencana tata ruang. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 4 Tahun 2012 paragraf 7 Pasal 49 ayat 2, Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Kota Tasikmalaya Tahun 2011-2031, peruntukkan lahan pertanian pangan ini hanya meliputi area seluas 492 hektar, tersebar di 4 wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Purbaratu, Cibeureum, Mangkubumi dan Kawalu. Namun berdasarkan hasil pengukuran ulang yang dinyatakan dalam Rencana Detil Tata Ruang Kota Tasikmalaya, dari luas lahan sawah hektar, yang ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan LP2B hanya hektar. Dengan demikian alih fungsi lahan sawah yang terjadi pada lahan-lahan usahatani yang ditetapkan tersebut merupakan suatu keniscayaan dan legal secara yuridis. Rekomendasi Pengendalian Rekomendasi pengendalian alih fungsi lahan sawah di Kota Tasikmalaya dapat dirinci meliputi Pengendalian alih fungsi yang disebabkan oleh faktor eksternal  Pengendalian penggunaan lahan agar sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW.  Pengendalian tahapan penggunaan lahan. Sedangkan pengendalian lahan sawah yang disebabkan oleh faktor internal dilakukan dilakukan melalui pendekatan aspek sosial-ekonomi usahatani. 1. Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian sesuai RTRW Pengendalian alih fungsi lahan berbasis Rencana Tata Ruang Wilayah adalah pengendalian alih fungsi lahan agar alih fungsi yang terjadi sesuai dengan arahan rencana pola ruang yang telah ditetapkan berdasarkan RTRW Kota Tasikmalaya Tahun 2011-2031. Peruntukkan lahan untuk zona lindung 20%; perairan 1%; jalan 2% dan zona budidaya 77%. Lahan sawah berdasarkan Pola Ruang berada pada zona budidaya yang meliputi proporsi area sebesar 77%. Sedangkan zona lindung meliputi areal sampadan sungai, sempadan danau, aliran lahar, hutan/taman kota. Jalur hijau jalan, pemakaman, sempadan sutet, sempadan rel kereta api dan kawasan resapan. Sumber Data Primer diolah, 2015 Gambar 3. Arahan/Rencana Pola Tata Ruang Kota Tasikmalaya Zona Lindung20%Zona Budidaya77%Jalan2%Perairan1% FAKTOR-FAKTOR PENDORONG ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI KOTA TASIKMALAYA Suprianto, Eri Cahrial, Hendar Nuryaman 25 2. Pengendalian Tahapan Alih Fungsi Seperti telah dibahas dalam uraian sebelumnya, bahwa luas lahan sawah eksisting di Kota Tasikmalaya hektar, sedangkan yang luas lahan pertanian pangan yang dicanangkan menurut Rencana Tata Ruang Wilayah hanya hektar. Artinya sebagian besar hamparan lahan pertanian pangan yang sekarang ini berupa lahan sawah status hukum peruntukkannya tidak lagi untuk lahan sawah. Maka sudah dapat dipastikan kurang lebih hektar lahan sawah, secara gradual akan beralih fungsi ke penggunaan lain. Prinsip pengendalian tahapan alih fungsi lahan pertanian pangan ini pada dasarnya mengatur sedemikian rupa agar  Lahan pertanian pangan seluas hektar yang berada Pada Kawasan Pertanian Pangan di wilayah Kecamatan Purbaratu, Cibeureum, mengkubumi dan Kawalu harus dipertahankan agar tidak beralih fungsi. Lahan pertanian pangan pada kawasan tersebut harus dilindungi dan ditetapkan menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan LP2B.  Lahan pertanian pangan diluar itu, yang menyebar di seluruh wilayah kecamatan di Kota Tasikmalaya, tahapan eksekusi alih fungsinya harus pengendaliannya, diatur sedemikian rupa agar lahan-lahan pertanian pangan produktif mendapat tahapan eksekusi yang paling akhir dalam proses alih fungsi. Sementara lahan pertanian yang kurang produktif dapat didahulukan. Variabel yang menjadi acuan pertimbangan dalam pengendalian alih fungsi lahan ini diantaranya adalah a. Sistem Pengairan Berdasarkan sistem pengairannya lahan pertanian pangan dapat dikelompokkan kedalam dua kategori, yaitu lahan irigasi dan lahan tadah hujan. Lahan irigasi hendaknya ditempatkan pada urutan paling akhir dalam proses alih fungsi lahan pertanian pangan dibandingkan dengan lahan pertanian pangan yang berpengairan tadah hujan. b. Letak lahan pada jaringan irigasi Berdasarkan letak lahan dalam jaringan irigasi, lahan pertanian pangan dapat diklasifikasi kedalam dua kategori, yaitu lahan pertanian pangan yang berada di bagian hulu dan lahan pertanian pangan yang berada di bagian hilir. Lahan pertanian pangan yang terletak di bagian hulu pada jaringan irigasi, ditempatkan pada urutan paling akhir dalam proses alih fungsi lahan dibandingkan dengan lahan pertanian pangan yang terletak di bagian hilir. Proses alih fungsi dimulai dengan urutan lahan yang terletak di bagian hilir menuju ke lahan yang berada di bagian hulu. Jurnal AGRISTAN Volume 1, Nomor 1, Mei 2019 26 c. Indeks Pertanaman IP Indeks Pertanaman menunjukkan intensitas penanaman tanaman pangan pada suatu hamparan lahan. Semakin tinggi indeks pertanaman lahan maka lahan tersebut menunjukkan klasifikasi yang semakin baik. Prinsif pengendalian alih fungsi lahan pertanian pangan berbasis Indeks Pertanaman adalah mendahulukan lahan pertanian pangan yang memiliki IP kecil dibandingkan dengan yang memiliki IP besar. Berdasarkan hasil identifikasi lahan pertanian pangan berkelanajutan, Indeks pertanaman lahan pertanian pangan di Kota Tasikmalaya berkisar antara 1-3, yaitu lahan pertanian tadah hujan sampai lahan pertanian pangan yang dapat ditanami tiga musim dalam satu tahun. d. Produktivitas Lahan Produktivitas lahan adalah kemampuan lahan untuk menghasilkan komoditas bahan pangan per satuan luas. Berdasarkan PP nomor 11 Tahun 2011, komoditas bahan pangan yang menjadi acuan untuk mengukur produktivitas lahan ini adalah padi, jagung, ubikayu dan ubijalar. Karena makanan pokok seluruh penduduk Kota Tasikmalaya adalah beras, maka dalam kajian ini yang dimaksud dengan produktivitas lahan adalah produktivitas padi. Prinsip pengendalian alih fungsi lahan pertanian pangan berbasis produktivitas ini, semakin tinggi produktivitas lahan maka harus diupayakan agar beralih fungsi pada bagian akhir, sementara lahan pertanian pangan yang berproduktivitas rendah ditempatkan pada bagian awal. 3. Pengendalian Berbasis Kondisi “Sosial Ekonomi” Usahatani Berdasarkan pada faktor penyebab terjadinya alih fungsi lahan pertanian, yang disebabkan oleh faktor-faktor internal. Pengendalian alih fungsi lahan pertanian berbasis kondisi sosial ekonomi ini dapat dilakukan melalui upaya-upaya  Pemeliharaan Prasarana/Sarana Lahan Usahatani  Mendorong terwujudnya kerjasama kelompok  Pemberian insentif ekonomis  Sosialisasi UUPA Nomor 5 Tahun 1960  Mencegah terjadinya fragmentasi lahan  Pencitraan terhadap profesi petani Disamping upaya yang bersifat prefentif persuasif tersebut, pengendalian alih fungsi lahan pertanian tersebut harus dibarengi dengan upaya penegakan hukum yang tegas. Upaya pengendalian alih fungsi lahan pertanian berbasis sosial-ekonomi dimaksud dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut. FAKTOR-FAKTOR PENDORONG ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI KOTA TASIKMALAYA Suprianto, Eri Cahrial, Hendar Nuryaman 27 a. Bantuan Pemeliharaan Prasarana dan Sarana Lahan Usahatani Berdasarkan hasil analisis ditinjau dari aspek-aspek teknis, lahan pertanian pangan di Kota Tasikmalaya pada umumnya memenuhi syarat dan kriteria yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2011, untuk ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan LP2B. Maka oleh sebab itu sekurang-kurangnya pemerintah daerah dapat mempertahankan dan memelihara kondisi sistem pengairan dan prasarana/sarana agar tetap kondusif untuk melakukan kegiatan usahatani. Tidak sedikit lahan pertanian yang beralih fungsi karena debit air pada jaringan irigasi yang menjadi sumber pengairannya tidak lagi mencukupi. b. Mendorong Terwujudnya Kerjasama dalam Kelompok Usahatani padi pada umumnya sempit, padahal usahatani yang terlalu sempit, biaya pengadaan sarana produksi menjadi tinggi, disi lain akan menanggung beban marketing cost yang tinggi per satuan produk hasil usahataninya. Pembinaan usahatani melalui pendekatan kelompok merupakan salah satu solusinya. Dengan berkelompok, biaya pengadaan sarana produksi bisa lebih ditekan, begitu pula biaya pada saat akan memasarkan produk hasil usahatani dapat direduksi. Disamping dapat menekan biaya pengadaan sarana produksi dan pemasaran, pendakatan pembinaan usahatani melalui pendekatan kelompok dapat meningkatkan posisi tawar petani. Petani diharapkan dapat berperan dalam price maker bukan sebagai price taker. c. Pemberian Insentif Ekonomis Untuk mereduksi kesenjangan antara pendapatan petani dengan kebutuhannya, dapat diberikan subsidi. Pemberian subsidi dimaksudkan untuk mengurangi pembiayaan usahatani atau menambah pendapatan. Maka oleh sebab itu pemberian insentif bagi petani dapat diberikan berupa a. Pemberian bantuan sarana produksi usahatani, berupa pupuk, pestisida ataupun pemberian bantuan benih . b. Pemberian bantuan alsintan, dengan pendekatan kelompok.. c. Pembebasan pajak, Pajak Bumi dan Bangunan dengan maksud untuk mengurangi beban biaya yang menjadi beban tahunan petani. Pemberian insentif ini diharapkan akan mengurangi pengeluaran petani, sehingga dapat mengalokasikan untuk keperluan keluarga. d. Sosialisasi UUPA Nomor 5 /60 Kepemilikan tanah tidak lagi dipandang sebagai “asset” bagi pemiliknya. “nilai ekonomi” atas tanah harus diimbangi dengan dengan “fungsi sosialnya”. Peraturan Dasar Pokok-pokok Jurnal AGRISTAN Volume 1, Nomor 1, Mei 2019 28 Agraria, pasal 4 ayat 1 dan 2 Undang-undang nomor 5 tahun 1960 merupakan hal yang harus disosialisasikan. Pasal 6 bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hak atas tanah apapun pada seseorang tidak dapat dibenarkan apabila tanah itu dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Dalam hal inipun pemberian insentif atas kepemilikan lahan-lahan yang difungsikan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan merupakan salah satu pendekatan yang bijak dan harus dipikirkan lebih lanjut implementasinya. e. Mereduksi Terjadinya Fragmenasi Lahan Pertanian Proses alih penguasaan atau kepemilikan lahan usahatani dari satu generasi ke generasi berikutnya merupakan suatu proses alamiah dan menjadi suatu keniscayaan. Secara akumulatif dalam jangka panjang proses tersebut menyebabkan rata-rata satuan luas usahatani yang sudah sempit menjadi semakin sempit. Sementara usahatani yang sempit, berada dibawah skala ekonomis, tidak dapat menjadi tumpuan kehidupan keluarga petani. Lahan usahatani yang tidak dapat mencukupi kehidupan keluarga, cenderung menjadi usaha sampingan yang intensitas pengelolaannya rendah. f. Pencitraan Profesi Petani Profesi petani sebagai produsen penghasil produk-produk hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan primer harus mendapat apresiasi yang tinggi. Kalaupun secara finansial rentabilitas usahatani pada umumnya relatif rendah dibandingkan dengan rentabilitas kegiatan usaha lainnya, Profesi sebagai petani memiliki keuntungan normatif. Profesi petani sesungguhnya profesi yang sangat mulia, dapat menyediakan bahan pangan dan bahan sandang serta bahan perumahan papan untuk kebutuhan banyak orang. Maka oleh sebab itu disamping petani diberi insentif secara ekonomis, seperti telah diuraikan, berupa pemberian bantuan kemudahan mendapatkan sarana produksi, bantuan alsintan, pembinaan kelompok, pemeliharaan jaringan irigasi dan lain-lain, petani juga harus mendapat “pengakuan” eksistensinya dari pemerintah daerah. Untuk masa yang akan datang pemberian bantuan yang sasaran pengambil manfaatnya adalah petani, maka hanya penduduk yang mencantumkan profesi “petani” sebagai pekerjaan dalam KTP-nya. Penyelenggaraan pameran dan even pemberian penghargaan kepada petani dikemas sedemikian rupa, tidak hanya bernuansa tradisional namun juga dipapadankan dengan unsur-unsur FAKTOR-FAKTOR PENDORONG ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH DI KOTA TASIKMALAYA Suprianto, Eri Cahrial, Hendar Nuryaman 29 modern. Dengan memadukan unsur-unsur modern diharapkan profesi petani tidak lagi dipandang “kolot” namun dapat bernuasa modern yang dianggapnya “keren” sehingga dapat menarik minat generasi muda untuk berperanserta dalam dibidang pertanian. KESIMPULAN Luas wilayah Kota Tasikmalaya berdasarkan UU/10/2010 adalah hektar. Seluas Ha, diantaranya adalah lahan pertanian, yang terbagi kedalam dua kategori, yaitu lahan sawah Ha dan lahan bukan sawah hektar. Berdasarkan sistem pengairannnya lahan sawah terdiri dari lahan sawah irigasi Ha dan sawah tadah hujan 938 Ha. Berdasarkan sistem pengairannnya lahan sawah terdiri dari lahan sawah irigasi hektar dan sawah tadah hujan 938 hektar. Selama periode delapan tahun terakhir terjadi alih fungsi lahan sawah seluas 222 Ha. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian dapat dibagi kedalam dua kategori, yaitu yaitu faktor internal dan faktor ekternal. Faktor internal meliputi Faktor Teknis; Faktor Ekonomis dan Faktor sosial. Sementara faktor ekternal yang mempenagruhi alih fungsi lahan pertanian diantaranya adalah laju pertumbuhan penduduk, kebijakan pembangunan pemerintah daerah dan Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW. Pengendalian alih fungsi yang disebabkan oleh faktor internal dilakukan melalui pendekatan aspek teknis, aspek sosial, dan aspek ekonomi usahatani. Variabel yang menjadi acuan dalam pengendalian teknis alih fungsi lahan ini diantaranya a. Sistem Pengairan ; b. Letak lahan pada jaringan irigasi; c. Indeks Pertanaman IP; d. Produktivitas Lahan. Pengendalian alih fungsi lahan pertanian berbasis kondisi sosial dapat dilakukan melalui upaya Pemeliharaan Prasarana/Sarana Lahan Usahatani; Mendorong terwujudnya kerjasama kelompok; Pemberian insentif ekonomis; Sosialisasi UUPA Nomor 5 Tahun 1960; Mencegah terjadinya fragmentasi lahan ; Pencitraan terhadap profesi petani; Pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang disebabkan oleh faktor eksternal yang dalam hal ini terdiri dari Pengendalian penggunaan lahan agar sesuai dengan RTRW; Pengendalian tahapan penggunaan lahan. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Kota Tasikmalaya, 2015. Kota Tasikmalaya Dalam Angka. Tasikmalaya. Entang Sastraatmaja. 2014. Ketahanan dan Kedaulatan Pangan Daerah. Makalah Rakor Pangan Kabupaten Tasikmalaya. Eddy Ruchiyat 1983. Pelaksana Land reform dan jual gadai tanah. Armico, Bandung. Jurnal AGRISTAN Volume 1, Nomor 1, Mei 2019 30 Koentjaraningrat, 1989. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Gramedia. Jakarta. Tarlan. 2005. Hubungan Luas Dan Status Penguasaan Lahan Dengan Pelaksanaan Penghijauan. Di Kabupaten Tasikmalaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068; ... Land conversion is a shift in land uses, specifically a change in the function of a portion or entire land from its existing function to another. According to Suprianto et al. 2019, the necessity for land for non-agricultural activity is diminishing. Land use change can hurt the environment around the land. ...Alfia Nisa WidhiyastutiErra Melanie Ariesta AdjieAdhia Azhar FauzanSupriyadi Supriyadispan lang="EN-US">Urban development and increasing population impact improving the demand for non-agricultural land. Through the issuance of Law No. 41 of 2009 concerning the Protection of Sustainable Food Agricultural Land, the government has attempted to reduce the conversion rate of agricultural land by protecting paddy fields that are considered the potential for food supply. This study aims to examine the impact of the transformation of agricultural land to non-agricultural land on food security and the implementation of the of Law No. 41 of 2009. The research method used is survey and descriptive. The focus of discussion includes population growth, land change, land area, harvested area, production and food availability needs data. The data was gathered from field observations, interviews and a literature study. The results showed that the average decrease in paddy fields in the last three years was ha. The population density in Sleman Regency is classified as high. In 2018 to 2019 the population density increased by people km-2. In 2019 to 2020 the population density decreased by people km-2. In 2018 to 2019 rice productivity increased by 625 tons ha-1, although harvested area and production have declined. There is no correlation between the location of paddy fields, population and rice productivity. The food security condition in Sleman Regency is generally stable, but the site of paddy fields that continues to decrease yearly must still be a concern.
MantanDirektur Jenderal Perlindungan Hutan Kemenhut ini tidak mengungkapkan siapa sosok gubernur tersebut. Namun, sudah menjadi rahasia umum salah satu gubernur yang menjadi tersangka dalam kasus alih fungsi lahan adalah mantan Gubernur Riau Annas Maamun yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada September 2014.
Jakarta - Negara-negara ASEAN dikenal dengan negara agraris. Mulai dari Indonesia, Vietnam, sampai Thailand. Kendati demikian, ada juga negara anggota ASEAN yang perekonomiannya tidak didukung oleh pertanian, anggota ASEAN yang perekonomiannya tidak didukung pertanian yaitu Singapura. Pada catatan Gross Domestic GDP Singapura tahun 2020, sektor agrikultur hanya menyumbang 0,03 persen, seperti dikutip dari laman Departemen Statistik itu, sejumlah penyumbang paling besar dalam mendukung perekonomian negara yaitu industri manufaktur sebesar 21,5 persen, wholesale and trade sebesar 16,8 persen, dan jasa keuangan dan asuransi sebesar 15,7 Singapura sebagai negara ASEAN yang perekonomiannya tidak didukung pertanian dipengaruhi oleh luas wilayah negara ini. Singapura memiliki wilayah seluas 720 km persegi. Karena lahan yang terbatas, hanya 2 km persegi wilayah Singapura yang digunakan sebagai lahan pertanian pangan, seperti dikutip dari laman Singapore Food pertanian pangan Singapura sebagian besar terletak di Lim Chu Kang dan Sungei Tengah. Di samping itu, terdapat area laut Singapura seluas 2 km persegi yang digunakan untuk budidaya ikan yang ditujukan sebagai pertanian di Singapura tersebut menghasilkan 14 persen sayur-sayuran, 26 persen telur, dan 10 persen ikan dari total bahan pangan yang dikonsumsi penduduk Singapura. Lahan ini juga menghasilkan produk ternak kambing, kodok, udang, dan lain-lain. Sementara itu, sisanya disokong dari impor pertanian Singapura yang terbatas, terutama di laut, memunculkan kebijakan produksi pangan berkelanjutan. Contohnya, area budidaya ikan di perairan pesisir dilarang untuk digunakan dalam kegiatan nonpertanian, seperti tur komersial dan tur jadi negara anggota ASEAN yang perekonomiannya tidak didukung pertanian yaitu Singapura. Simak Video "VTL Ditangguhkan, Kini Masuk Singapura Wajib Karantina" [GambasVideo 20detik] lus/lusSalahsatu faktor pendorong perdagangan internasional bagi suatu negara adalah .Jakarta - Indonesia merupakan salah satu negara pendiri Association of Southeast Asian Nations atau ASEAN. Negara-negara ASEAN bekerja sama untuk memajukan Asia Tenggara di berbagai bidang. Tahukah kamu, apa faktor pendorong kerjasama antarnegara ASEAN dan faktor penghambatnya?Kerja sama antar negara ASEAN dilakukan dalam bidang sosial, politik, budaya, pendidikan, dan lain-lain. Kerja sama negara-negara ASEAN juga membantu mencapai kesepakatan bersama dan meminimalisasi masalah yang timbul karena interaksi di berbagai sama antar negara ASEAN terjadi karena sejumlah faktor pendorong dan faktor penghambat. Berikut faktor pendorong dan penghambat kerja sama antarnegara ASEAN seperti dikutip dari buku Ilmu Pengetahuan Sosial SMP/MTs Kelas VIII dari Kementerian Pendidikan dan Faktor pendorongFaktor pendorong kerja sama antarnegara ASEAN yaitu1. Kesamaan dan perbedaan sumber daya alamKesamaan sumber daya alam antara beberapa negara dapat mendorongterbentuknya kerja sama antarnegara. Perbedaan sumber daya pangan di setiap negara ASEAN juga melahirkan kerja Indonesia mengekspor hasil pertanian ke Singapura. Indonesia juga mengimpor beras dari Myanmar dan Thailand untukmemenuhi kebutuhan Kesamaan dan perbedaan wilayah kondisi geografisKarena kesamaan letak geografis, beberapa negara di suatu kawasan pada umumnya mengadakan kerja sama untuk menjaga stabilitas dan keamanan contoh, negara-negara yang terletak di wilayah Asia Tenggara membentuk kerja sama melalui organisasi Faktor penghambatFaktor penghambat kerja sama di kawasan ASEAN antara lain1. Perbedaan IdeologiPerbedaan ideologi dapat menjadi faktor penghambat terjadinya kerja sama antar negara. Tetapi, faktanya, saat ini hampir tidak ada negara ASEAN yang menutup diri dari kerja sama antarnegara Konflik dan peperanganKondisi konflik dan peperangan yang terjadi di dalam negeri maupun antara negara mengganggu stabilitas negaranya sehingga akan menghambat kerja sama Kebijakan protektifSuatu negara dapat menerapkan kebijakan yang bertujuan melindungi kepentingan dalam negeri dan meningkatkan daya saing. Contohnya, sebuah negara tidak menerima impor hasil pertanian karena dapat mempengaruhi kondisi pendapatan hasil pertanian di dalam kebijakan di atas dapat mempengaruhi hubungan antarnegara. Dengan demikian, sebuah kebijakan protektif dapat menghambat kerja sama antarnegara Perbedaan kepentingan tiap-tiap negaraKerja sama dibutuhkan bagi perkembangan dan masa depan negara di dunia. Akan tetapi, dalam kerja sama antarnegara tiap-tiap negara memiliki kepentingan yang kepentingan tiap negara dapat menghambat kerja sama antar sudah tahu ya detikers apa saja faktor pendorong kerjasama antarnegara ASEAN dan faktor penghambatnya. Apa bentuk kerja sama negara ASEAN yang kamu tahu? Simak Video "Momen Jokowi dan Para Pemimpin ASEAN Pakai Batik di KTT Hari Kedua" [GambasVideo 20detik] twu/lus Whilethe value of t table of 1.782 which means the value of t arithmetic t table (1,315 1.782). This study aims to identify factors causing the conversion of wetland to non-rice field in Tompaso
Salahsatu kerja sama antarnegara ASEAN di bidang industri berikut ini adalah. pergantian lahan b. penggunaan tanah c. konversi lahan d. konversi tanah 78 Kelas VIII SMPMTs 20. Dampak alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman, yaitu produktivitas pangan akan menjadi. Faktor-faktor Pendorong dan Penghambat Mobilitas
Kebijakan Pembangunan infrastruktur menjadi salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk melakukan percepatan pembangunan perekonomian. Berbagai infrastruktur telah terbukti mampu memudahkan jalur transportasi di berbagai daerah. Kebijakan tersebut dinilai berpengaruh terhadap alig fungsi lahan. Tidak semua masyarakat ingin mengkonversikan lahannya dengan alasan sebagai sumber mata pencaharian, namun praktek konversi lahan tetap terjadi di Kecamatan Labakkang yang ditetapkan sebagai salah satu wilayah pembangunan. Hal ini karena penetapan kebijakan pembangunan tersebut maka petani harus menjual lahannya kepada pihak proyek demi keperluan pembangunan. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum wajib dilakukan oleh pemerintah dan tanahnya selanjutnya dimiliki oleh pemerintah dalam perencanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Pembangunan jalur kereta api diformulasikan menjadi sebuah kebijakan, maka rakyat harus dilibatkan dalam proses pembangunan dan rakyat tidak bia menolak karena jalur transportasi secara nasional adalah untuk kepentingan pembangunan untuk mengatasi kemacetan lalu lintas, serta mempercepat pembangunan dan pertumbuhan. Dengan adanya pembangunan jalur kereta api diharapkan dapat mengatasi kemacetan lalu lintas, memperpendek jarak tempuh, mempercepat waktu tempuh. Hal ini yang menjadi komitmen pemerintah dalam membangun insfraktruktur secara merata demi mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi Proses alih fungsi lahan mumnya berlangsung cepat apabila akar pemenuhan kebutuhannya tekait kebutuhan mendasar yaitu prasarana umum yang diprogramkan pemerintah. Pembanguna jalur kereta dilihat dari aspek pemanfaatannya akan memberikan dampak positif terhadap percepatan pembangunan daerah, oleh karena itu masyarakatakan memberikan dukungan terhadap pembangunan tersebut. b. Faktor Penghambat Konversi Lahan Pertanian Isu pembebasan lahan untuk dialih fungsikan menjadi jalur kereta api menjadi faktor penghambat dalam proses pembagunan. Ada beberapa hambatan yang terjadi dalam proses ganti kerugian tanah pembangunan jalur rel kereta api di Kecamatan Labakkang meliputi 1 Kendala birokrasi yang dihadapi dalam proses pemerataan tanah pada masa pemerintahan Pangkep khususnya di Kabupaten Labakkang pada tingkat pemerintahan disebabkan kurangnya kerjasama panitia pengadaan tanah, sedangkan birokrasi di kotamadya dibatasi oleh keadaan tanah dan ahli waris. 2 Pembatasan dalam rangka pemikiran karena perbedaan persepsi yang menjadi dasar penetapan harga tanah, maka negara menetapkan besaran ganti rugi. 3 Hambatan kepentingan, adanya faktor kepentingan politik menjadi salah satu penyebab tertundanya proses ganti rugi bagi penduduk kecamatan Labakkang. 4 Faktor psikologis yang terjadi di Kecamatan Labakkang disebabkan oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap keberlangsungan penghidupan mereka. Prasangka negatif masyarakat terhadap pemerintah, yang beranggapan bahwa pemerintah tidak adil dan buram dalam memberikan ganti rugi kepada masyarakat. Apapun yang menjadi alasan petani untuk tidak menerima kehadiran pembangunan jalur kereta api, akan tetapi sebagai masyarakat yang penuh keterbatasan baik dari sisi pendidikan, ekonomi dan status sosialnya, maka petani tetap menyambut kehadiran pembangunan tersebut tersebut dengan sikap pesimis. Karena, mereka diharuskan menyerahkan tanah yang selama ini menghidupi keluarganya dengan harga yang tidak seimbang. Untuk mengatasi bentuk interaksi tersebut perlu dilaksananakan sosialisasi dengan mekanisme kotrol sosial. Menurut Persons, mekanisme sosialisasi merupakan alat untuk menanamkan pola kultural dan sebagainya melaui mediasi. Dengan proses ini anggota msyarakat akan menerima norma-norman yang ada. Mekanisme kontrol mencakup sistem sosial sehingga perbedaan-perbedaan dan ketegangan-ketegangan yang ada dalam masyarakat bisa terselesaikan. Tabel Tabel Interpretasi No Rumusan Masalah Konsep / Hasil Penelitian Wawancara Teori Interpertasi / Keterkaitan saluran irigasi yang berdampak sehingga akan kelangsungan kelangsungan ketegangan-ketegangan yang ada dalam masyarakat bisa terselesaikan. 77 BAB V PENUTUP KESIPULAN 1. Dampak sosial yang ditimbulkan dari alih fungsi lahan yaitu adanya kecemburuan antar masyarakat mengenai perbedaan harga ganti rugi yang diterima msyarakat, selain itu juga pembagunan jalur kereta api terhadap sawah yang menjadi jalur mengakibatkan banyaknya lahan kering karena saluran irigasi yang terganggu akibat adanya alih fungsi lahan. Dampak ekonomi akibat adanya konversi lahan adalah berkurangnya hasil panenen karena sebagian lahan sudah dialih fungsikan. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah produksi padi dan nilai dari produksi padi yang dihasilkan dari wilayah tersebut menurun. Jumlah produksi padi yang menurun dikarenakan sebagian lahan dikonversikan untuk pembangunan jalur. 2. Aadapun dinamika sosial yang terjadi dalam pembangunan jalur kereta api yaitu perubahan pada mata pencaharian masyarakat dengan memanfaatkan kompensasi yang diterima untuk membuka usaha baru. Perubahan kekuasaan lahan juga terjadi akibat sebagian lahan diambil alih oleh pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan pembangunan jalur kereta api. 3. Faktor pendorong terjadinya alih fungsi lahan karena adanya kebijakan dari pemerintah untuk melakukan pembangunan di jalur kera api Makassar-Pare-pare untuk kepentingan umu dalam menunjang pertumbuhan dan perkembangan ekonomi daerah. Disamping faktor pendorong juga terdapat faktor penghambat lantaran masyarakat merasa tidak puas terhadap uang ganti rugi yang diberikan karena tidak sesuai sehingga masyarakat melakukan aksi demo kepada pemerintah, hal tersebut menjadi penghambat karena masalah tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu agar dapat melanjutkan proses alih fungsi lahan. SARAN 1. Kepada Pemerintah untuk lebih memperhatikan rumusan kebijakan pembangunan yang berwawasan lingkungan agar tidak menimbilkan dampak buruk pada kualitas lingkungan dan kehidupan masyarakat. 2. Kepada Masyrakat untuk memberikan dukungan terhadap pembangunan jalur kereta api Makassar-Pare-pare dan mendukung program-program pemerintah dalam memajukan kesejahteraan umum, serta meningkatkan pendidikan. 3. Kepada Pihak Proyek diharapkan lebih mempertimbangkan kembali jumlah uang ganti rugi yang diberikan kepada masyarakat terdampak agar sesuai dengan kondisi lahan yang dimiliki masyarakat. 4. Diharapkan jika kedepannya untuk peneliti yang lain meneliti hal yang sama, untuk mengkaji lebih dalam mengenai dampak konversi lahan pertanian terhadap kondisi sosial masyarakat yang bekerja sebagai petani. Daftar Pustaka Agus, F. 2004. Konversi dan Hilangnya Multi Fungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Bogor Arifin, M. Z. 2018. Jurnal Thengkyang. Pengelolaan Anggaran Pembangunan Desa Di Desa Bungin Tinggi, Kecamatan Sirah Pulau Padang, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. 11, 1–21. Ashari 2003. Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi. Tinjauan tentang Alih Fungsi Lahan Sawah Ke Non Sawah Dan Dampaknya Di Pulau Jawa. 212, 84 BPS Kabupaten Pangkep. 2018. Kecamatan Labakkang dalam Angka. Pangkep BPS Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan BPS Kabupaten Pangkep. 2019. Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Dalam Angka. Pangkep BPS Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Banowati, Eva. 2018. Geografi Sosial. Yogyakarta Ombak. Creswell. John W. 2016. Research Design Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan Campuran. Yogyakarta Pustaka Belajar Darwis, 2020. "Perubahan Sosial Masyarakat Kecamatan Soppeng Riaja Kabupaten Barru Akibat Pembangunan Jalur Kereta Api Makassar – Parepare”. Tesis Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Pascasarjana, Universitas Negeri Semarang, Semarang. Dura, J. 2016. Jurnal Ilmiah Bisnis Dan Ekonomi Asia. Pengaruh Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Alokasi Dana Desa, Kebijakan Desa, Dan Kelembagaan Desa Terhadap Kesejahteraan Masyarakat. 102, 26–32. Fitriah, dkk 2018. Analisis Perbandingan Biaya Pengangkutan Peti Kemas Menggunakan Moda Truk, Kereta Api dan Kapal Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Enjiniring, 221 Gilarso. 1991. Pengantar Ilmu Ekonomi. Yogyakarta Anggota IKAPI Indrawati, E. S. 2015. Jurnal Psikologi Undig. Status Sosial Ekonomi Dan Intensitas Komunikasi Keluarga Pada Ibu Rumah Tangga Di Panggung Kidul Semarang Utara. 141, 54 Lapatandau, dkk. 2018. Jurnal. Alih Fungsi Lahan Pertanian Di Kabupaten Minahasa Utara, 132A, 2 Lestari, & Asmara, A. 2014. Jurnal Agribisnis Indonesia. Dampak Pembangunan Infrastruktur Jalan Dan Variabel Ekonomi Lain Terhadap Luas Lahan Sawah Di Koridor Ekonomi Jawa, 2 1, 26 Moleong, Lexy. J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung Remaja Rosda Karya M. Setiadi, Elly. & Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta Kencana Nasrul, dkk 2018. Jurnal Pattingalloang, Transportasi Kereta Api Rute Makassar-Takalar 1922-1930. 53, 1–11 Nurfadillah. 2016. “Dampak Pembangunan Rel Kereta Api Terhadap Perubahan Perilaku Masyarakat Di Kelurahan Mangempang Kecamatan Barru Kabupaten Barru”. Skripsi. Jurusan Sosiologi Agama, Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan politik, UIN Alauddin, Makassar. Pangi, Joris. 2020. Jurnal Holistik. Kehidupan Sosial Ekonomi Petani Di Desa Maliku Satu Kecamatan Amurag Timur Kabupaten Minahasa Selatan. 131, 3. Poniman. 2015. Sosial Ekonomi Keluarga dan Hubungannya dengan Prestasi Belajar Anak di SMK Telkom Sandhy Putra Medan. Skripsi. Universitas Sumatera Utara Pramudiana, 2017. Asketik. Dampak Konversi Lahan Pertanian Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Petani Dikecamatan Tikung Kabupaten Lamongan, 1 2 Ritzer, George, 2002. Sociology A Multiple Paradigm Science, Alimandan penterjemah Sosiologi Berparadigma Ganda, Raja Graindo Persada. Jakarta. Rosyidi, Sri 2015. Rekayasa Jalan Kereta Api, Tinjauan Struktur Jalan Rel. Yogyakarta Lembaga Penelitian, Publikasi & Pengabdian Masyarakat Soekanto, Soerjono. 2015. Sosiologi Sebuah Pengantar. Jakarta Rajawali Pers. Suardi, Nursalam, Syarifuddin. 2016. Teori Sosiologi Klasik, Modern, Posmodern, Saintik, Hereneutik, Kritis, Evaluatif dan Integratif. Makassar Writing Revolution Syahrum, Salim. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung Citapustaka Media Wahyu, M. B. 2018. Jurnal Metris. Pendekatan Manajemen Program dengan Menggunakan Maeutic Machine dalam Percepatan Pencapaian Proyek Strategis Nasional RPJMN 2015-2019. 192018, 65–70. Widhiantini 2018. Jurnal Manajemen Agribisnis. Kajian Teoritis Dinamika Konversi Lahan Pertanian, 2 2 Widjanarko. 2006. Aspek Pertanahan Dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Sawah. Jakarta Pusat Penelitian Dan Pengembangan Wijaya, Saputra. 2015. E- Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Universitas Udayana. Studi Alih Fungsi Lahan dan Dampaknya Terhadap Sosial Ekonomi Petani Jambu Mete Di Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem. 048, 557 L A M P I R A N Lampiran 1 PEDOMAN OBSERVASI
Salahsatu faktor pendorong pembaharuan islam di indonesia, bermula dari masalah ubudiyah dan campur aduknya adat istiadat, tradisi, dan agama. faktor pendukung lainnya sebagai berikut, kecuali: campur aduknya akidah dan kemusyrikan. sikap tak acuh kaum intelektual terhadap islam. meningkatnya misi kristenisasi di indonesia. kurang berfungsinya lembaga pendidikan islam secara maksimal.JawabanFaktor ² yg mendorong alih fungsi pertanian , yaitu 1 Pertumbuhan penduduk yg pesat 2 Kenaikan kebutuhan masyarakat untuk permukiman 3 Tingginya biaya penyelenggaraan pertanian 4 Kurang nya minat generasi muda untuk mengelola lahan pertanian 5 Pergantian ke sektor yg dianggap lebih menjanjikan 6 Lemahnya regulasi pengendalian alih fungsi lahan. PenjelasanMaaf kalau jawaban saya salah
Kebudayaanadalah salah satu di antara 3 (tiga) pilar utama ASEAN dalam proses mengarah ke tujuan membangun komunitas pada tahun 2015. Reklamasi tersebut disebut salah satu bentuk alih fungsi lahan yang disebut konversi lahan. Konversi lahan menjadi fenomena yang sering dijumpai di negara-negara ASEAN Konversi lahan pertanian sering Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian, kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian cenderung terus meningkat. Kecenderungan tersebut menyebabkan alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1 faktor-faktor yang menjadi pendorong alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian baik secara internal maupun eksternal, dan 2 Alternatif kebijakan dalam rangka pengendalian alih fungsi lahan. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah deskripitif kualitatif dengan menggunakan teori yang sudah ada. Hasil analisis menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan teridiri dari faktor internal dan eksternal, faktor internal lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan dan faktor eksternal merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi. Alternatif kebijakan untuk pengendalian alih fungsi lahan yaitu dengan melaksanakan aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian yang sesuai dengan spesifik lokasi. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Seminar Nasional “PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITASPERTANIAN”Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Galuh, 1 April 2017PROSIDINGSEMINAR NASIONALHASIL PENELITIAN AGRIBISNIS I“PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAINGKOMODITAS PERTANIAN”Tim EditorAgus Yuniawan IsyantoZulfikar NoormansyahTrisna Insan NoorHj. Dini RochdianiDedy SufyadiDani Lukman HakimMochamad RamdanDedi Herdiansah HardiyantoCecep PardaniMuhamad Nurdin YusufFitri YurohIda MaersarohDede Ahmad FaridDiterbitkan olehPROGRAM STUDI AGRIBISNISFAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GALUH CIAMIS2017 SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN AGRIBISNIS I FP UNIGAL 2017 577TREN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN KE NONPERTANIAN“Faktor dan Alternatif Kebijakan“Hendar NuryamanFakultas Pertanian Universitas SiliwangiEmail hendarnuryaman dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian,kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian cenderung terus meningkat. Kecenderungantersebut menyebabkan alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari. Secara umum penelitian inibertujuan untuk mengetahui 1 faktor-faktor yang menjadi pendorong alih fungsi lahan pertanianke non pertanian baik secara internal maupun eksternal, dan 2 Alternatif kebijakan dalam rangkapengendalian alih fungsi lahan. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah deskripitif kualitatifdengan menggunakan teori yang sudah ada. Hasil analisis menyimpulkan bahwa faktor-faktoryang mendorong terjadinya alih fungsi lahan teridiri dari faktor internal dan eksternal, faktor internallebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian penggunalahan dan faktor eksternal merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhanperkotaan, demografi maupun ekonomi. Alternatif kebijakan untuk pengendalian alih fungsi lahanyaitu dengan melaksanakan aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupundaerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian yang sesuai dengan Kunci Alih fungsi, Faktor, Kebijakan1. PENDAHULUANSektor pertanian telah memberikansumbangan besar dalam pembangunannasional, seperti peningkatan ketahanannasional, penyerapan tenaga kerja,peningkatan pendapatan masyarakat,peningkatan Pendapatan DomestikRegional Bruto PDRB, perolehan devisamelalui ekspor-impor dan dengan peningkatan jumlahpenduduk dan perkembangan strukturperekonomian, kebutuhan lahan untukkegiatan nonpertanian cenderung terusmeningkat. Kecenderungan tersebutmenyebabkan alih fungsi lahan pertaniansulit dihindari. Rhina dan Susi 2012,menyatakan Alih fungsi lahan pertaniantelah menjadi isu global tidak hanya diNegara berkembang yang masihbertumpu pada sektor pertanian, namunjuga di negara maju untuk menghindariketergantungan terhadap impor produkpertanian. Dalam prosesnya, alih fungsilahan pertanian senantiasa berkaitan eratdengan ekspansi atau perluasan kasus menunjukkan jikadi suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan,maka dalam waktu yang tidak lama lahandi sekitarnya juga beralih fungsi secaraprogresif. Menurut Irawan 2005, haltersebut disebabkan oleh dua sejalan dengan pembangunankawasan perumahan atau industri disuatu lokasi alih fungsi lahan, makaaksesibilitas di lokasi tersebut menjadisemakin kondusif untuk pengembanganindustri dan pemukiman yang akhirnyamendorong meningkatnya permintaan SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN AGRIBISNIS I FP UNIGAL 2017 578lahan oleh investor lain atau spekulantanah sehingga harga lahan di sekitarnyameningkat. Kedua, peningkatan hargalahan selanjutnya dapat merangsangpetani lain di sekitarnya untuk menjuallahan. Wibowo 1996, menambahkanbahwa pelaku pembelian tanah biasanyabukan penduduk setempat, sehinggamengakibatkan terbentuknya lahan-lahanguntai yang secara umum rentanterhadap proses alih fungsi empiris lahan pertanianyang paling rentan terhadap alih fungsiadalah sawah. Hal tersebut disebabkanoleh 1 kepadatan penduduk dipedesaan yang mempunyaiagroekosistem dominan sawah padaumumnya jauh lebih tinggi dibandingkanagroekosistem lahan kering, sehinggatekanan penduduk atas lahan juga lebihtinggi; 2 daerah pesawahan banyakyang lokasinya berdekatan dengandaerah perkotaan; 3 akibat polapembangunan di masa sebelumnya,infrastruktur wilayah pesawahan padaumumnya lebih baik dari pada wilayahlahan kering; dan 4 pembangunanprasarana dan sarana pemukiman,kawasan industri, dan sebagainyacenderung berlangsung cepat di wilayahbertopografi datar, dimana pada wilayahdengan topografi seperti itu terutama diPulau Jawa ekosistem pertaniannyadominan areal persawahan Iqbal danSumaryanto, 2007.Menurut PUSPIJAK 2012beberapa penelitian menyimpulkanbahwa keadaan sosial, ekonomi, dankebijakan pemerintah dalam membuataturan pembangunan suatu sektor ataupembangunan nasional dapatmengakibatkan perubahan alih fungsi lahan pertanian didaerah dengan produktivitas rendahtidaklah terlalu mengancam produksipangan. Namun ketika alih fungsi lahanpertanian menjadi kawasan non pertanianterjadi di lahan beririgasi denganproduktivitas tinggi maka hal inimerupakan ancaman bagi ketersediaanpangan khususnya bahan makananpokok penduduk beras, Rhina dan Susi2012.Berdasarkan uraian diatas, padatulisan ini ingin dipelajari faktor-faktor apayang menjadi pendorong alih fungsi lahanpertanian ke non pertanian baik secarainternal maupun eksternal serta alternatifkebijakan dalam rangka pengendalian alihfungsi lahan. Akan tetapi dalam hal inipenulis tidak membahas mengenaidampak yang ditimbulkan dari adanya alihfungsi lahan METODE PENELITIANPendekatan penelitian yangdigunakan adalah deskripitif kualitatifdengan menggunakan teori-teori danhasil kajian yang sudah ada, data yangdigunakan adalah data sekunder daribeberapa tulisan yang mengupasmengenai alih fungsi lahan, studikepustakaan yaitu dilakukan dengan SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN AGRIBISNIS I FP UNIGAL 2017 579mengkaji beberapa literatur yangmendukung penelitian ini. Sekaran2010, mendefinisikan literature reviewsebagai tahapan proses yang didalamnyaterdiri dari identifikasi terhadap hasil kerjabaik yang dipublikasikan maupun tidakdari berbagai sumber data sekunder,melakukan evaluasi terhadap hasil kerjatersebut dalam kaitannya denganmasalah, dan yang terakhirmendokumentasikan HASIL DAN Faktor-faktor Pendorong AlihFungsi LahanAlih fungsi lahan merupakanperubahan untuk penggunaan lain yangdisebabkan oleh faktor-faktor yang secaragaris besar meliputi keperluan untukmemenuhi kebutuhan penduduk yangsemakin bertambah jumlahnya, danmeningkatnya tuntutan akan mutukehidupan yang lebih baik. Alih fungsilahan disebabkan oleh beberapa faktordiantaranya Faktor InternalFaktor internal adalah faktor daridalam, faktor ini lebih melihat sisi yangdisebabkan oleh kondisi sosial ekonomirumah tangga pertanian pengguna petani yang mencangkupumur, tingkat pendidikan, jumlahtanggungan keluarga, luas lahan yangdimiliki dan tingkat ketergantunganterhadap zaman yang semakin modern initidak dipungkiri para generasi muda lebihmemilih bekerja di bidang industri danperkantoran daripada bekerja di bidangpertanian. Hal ini menyebabkan daerahperdesaan yang bergerak di bidangpertanian kekurangan tenaga kerjaproduktif, karena ditinggal ke kota. Selainitu, semakin meningkatnya biayaoperasional dalam pengolahan lahanpertanian juga menyebabkan para petanimengalami kerugian, sehingga merekalebih memilih untuk beralih profesi danmenjual lahan pertaniannya sehinggaberalih fungsi menjadi lahan Faktor EksternalFaktor eksternal atau faktor dari luarmerupakan faktor yang disebabkan olehadanya dinamika pertumbuhanperkotaan, demografi maupun dalam hal ini yang dimaksud kedalam faktor-faktor tersebut aPertumbuhan perkotaan yang dimaksudadalah semakin padatnya daerahperkotaan maka akan terjadi ekspansi kedaerah pinggiran ataupun belakang sebagai daerah belakang kotayang memasok kebutuhan pangan kotaakan mulai terdesak dan tergerus akibatpertumbuhan dan perkembangan kotayang semakin pesat, sehingga lahan-lahan produktif pertanian yang berada didesa akan berubah fungsi menjadisebagai lahan permukiman ataupunindustri, b Demografi ataukependudukan yang dimaksud disiniadalah semakin meningkatnyapertumbuhan dan jumlah penduduk yang SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN AGRIBISNIS I FP UNIGAL 2017 580menyebabkan semakin meningkatnyapermintaan akan lahan yang akandigunakan sebagai perumahan atautempat tinggal. Pesatnya pembangunandianggap sebagai salah satu penyebabmenurunnya pertumbuhan produksi hasilpertanian khususnya produksi padi, cFaktor ekonomi merupakan faktorsemakin meningkatnya kebutuhan akanlahan di bidang ekonomi baik itudigunakan sebagai kegiatan pariwisatamaupun perdagangan. Selain itu, tekananekonomi pada saat krisis ekonomi jugadapat menyebabkan terjadinya alih fungsilahan. Hal tersebut menyebabkan banyakpetani menjual asetnya baik itu berupaladang, kebun maupun sawah untukmemenuhi kebutuhan hidupnya yangberdampak meningkatkan alih fungsilahan sawah dan makin meningkatkanpenguasaan lahan pada pihak-pihakpemilik modal atau Faktor KebijakanFaktor kebijakan berkaitan denganaspek peraturan regulasi yangdikeluarkan oleh pemerintah pusatmaupun daerah yang berkaitan denganperubahan fungsi lahan pada aspek regulasi itusendiri terutama terkait dengan masalahkekuatan hukum, sanksi pelanggaran danakurasi objek lahan yang dilarangdikonversi. Selain itu, kurangnya aksinyata hanya wacana semata dan tidakjelasnya langkah pemerintah dalammeminimalisir kegiatan yangmenyebabkan terjadinya alih fungsi lahanpertanian menjadi semakin banyak danmaraknya lahan yang ketiga faktor di atas, adabeberapa faktor lain lagi yangmenyebabkan terjadinya alih fungsi lahanpertanian, diantaranya1. Faktor kependudukanPesatnya peningkatan jumlahpenduduk telah meningkatkan permintaantanah untuk perumahan, jasa, industri danfasilitas umum Kebutuhan lahan untuk non pertanianKebutuhan lahan untuk kegiatannon pertanian antara lain pembangunanreal estate, kawasan industri, kawasanperdagangan dan jasa-jasa lainnya yangmemerlukan lahan yang luas, sebagiandiantaranya berasal dari lahan pertanianyang masih dikategorikan produktiftermasuk Faktor ekonomiFaktor ekonomi lebih didasarkankarena tingginya nilai sewa tanah landrent yang diperoleh dari aktivitas sektornon pertanian dibandingkan Faktor sosial budayaFaktor sosial budaya yang berkaitandengan adanya alih fungsi lahan antaralain keberadaan hukum waris yangmenyebabkan terfragmentasinya lahanpertanian, sehingga tidak memenuhibatas minimum skala ekonomi usahayang Lemahnya fungsi kontrol danpemberlakuan peraturan oleh lembagaterkait. SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN AGRIBISNIS I FP UNIGAL 2017 5816. Otonomi daerahOtonomi daerah yangmengutamakan pembangunan padasektor menjanjikan keuntungan jangkapendek lebih tinggi guna meningkatkanPendapatan Asli Daerah PAD, yangkurang memperhatikan kepentinganjangka panjang dan kepentingan nasionalyang sebenarnya penting bagimasyarakat secara Kurangnya minat generasi muda dibidang pertanianBeberapa golongan masyarakatmenganggap bahwa sektor pertanianadalah sektor minim penghasilan danberada dikelas bawah untuk golonganpekerjaan, bahkan tidak jarangmasyarakat Indonesia menganggappetani hanyalah untuk mereka yang tidakambil bagian dibidang Strategi Pengendalian Alih FungsiLahan PertanianPenyebab terjadinya alih fungsilahan pertanian bisa dikatakan bersifatmultidimensi. Oleh karena itu, upayapengendaliannya tidak mungkin hanyadilakukan melalui satu pendekatan tersebut mengingat lahan yang adamempunyai nilai yang berbeda, baikditinjau dari segi jasa service yangdihasilkan maupun beragam fungsi yangmelekat di dalamnya. Sehubungandengan hal tersebut, Pearce and Turner1990 merekomendasikan tigapendekatan secara bersamaan dalamkasus pengendalian alih fungsi lahankhususnya sawah wetland, yaitumelalui 1 regulation; 2 acquisition andmanagement; dan 3 incentive andcharge.1RegulationMelalui pendekatan ini pengambilkebijakan perlu menetapkan sejumlahaturan dalam pemanfaatan lahan yangada. Berdasarkan berbagai pertimbanganteknis, ekonomis dan sosial, pengambilkebijakan bisa melakukan pewilayahanzonasi terhadap lahan yang ada sertakemungkinan bagi proses alih itu, perlu mekanisme perizinanyang jelas dan transparan denganmelibatkan semua pemangkukepentingan yang ada dalam proses alihfungsi tatanan praktisnya, pola ini telahditerapkan pemerintah melalui penetapanRencana Tata Ruang Wilayah danpembentukan Tim Sembilan di tingkatkabupaten dalam proses alih fungsilahan. Sayangnya, pelaksanaan dilapangan belum sepenuhnya konsistenmenerapkan aturan yang ada.2Acquisition and ManagementMelalui pendekatan ini pihak terkaitperlu menyempurnakan sistem danaturan jual beli lahan sertapenyempurnaan pola penguasaan lahanland tenure system yang ada gunamendukung upaya kearahmempertahankan keberadaan lahanpertanian. SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN AGRIBISNIS I FP UNIGAL 2017 5823Incentive and ChargesPemberian subsidi kepada parapetani yang dapat meningkatkan kualitaslahan yang mereka miliki, sertapenerapan pajak yang menarik bagi yangmempertahankan keberadaan lahanpertanian, merupakan bentuk pendekatanlain yang disarankan dalam upayapencegahan alih fungsi lahan itu, pengembangan prasaranayang ada lebih diarahkan untukmendukung pengembangan kegiatanbudidaya pertanian berikut selama ini penerapanperundang-undangan dan peraturanpengendalian alih fungsi lahan kurangberjalan efektif, serta berpijak pada acuanpendekatan pengendalian sebagaimanadikemukakan di atas, maka perludiwujudkan suatu kebijakan alternatif tersebut diharapkanmampu memecahkan kebuntuanpengendalian alih fungsi lahansebelumnya. Adapun komponennyaantara lain instrumen hukum danekonomi, zonasi dan inisiatif hukum meliputipenerapan perundang-undangan danperaturan yang mengatur mekanisme alihfungsi lahan. Sementara itu, instrumenekonomi mencakup insentif, disinsentif,dan kompensasi. Pelibatan masyarakatseyogyanya tidak hanya terpaut padafenomena di atas, namun mencakupsegenap lapisan pemangku SIMPULAN DAN SimpulanFaktor-faktor yang mendorongterjadinya alih fungsi lahan terbagi kedalam dua bagian, yaitu 1 FaktorInternal, faktor ini lebih melihat sisi yangdisebabkan oleh kondisi sosial-ekonomirumah tangga pertanian pengguna didalamnya karakteristik petaniyang mencangkup umur, tingkatpendidikan, jumlah tanggungan keluarga,luas lahan yang dimiliki dan tingkatketergantungan terhadap lahan. 2Faktor Eksternal, Merupakan faktor yangdisebabkan oleh adanya adanya dinamikapertumbuhan perkotaan, demografimaupun alternatif kebijakan untukpengendalian alih fungsi lahan yaitudengan melaksanakan aspek regulasiyang dikeluarkan oleh pemerintah pusatmaupun daerah yang berkaitan denganperubahan fungsi lahan pertanian yangsesuai dengan spesifik lokasi. Adapunkomponennya antara lain instrumenhukum dan ekonomi, zonasi dan SaranAdapun saran yang dapat diberikandalam tulisan ini adalah 1 Pemerintahhendaknya lebih serius menanggapipermasalahan terkait alih fungsi lahan,utamanya dalam menetepkan suatukebijakan dan aturan perundang-undangan, 2 Masyarakat hendaknyamenyadari pentingnya lahan pertanianuntuk memenuhi kebutuhan pangan. SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN AGRIBISNIS I FP UNIGAL 2017 5835. DAFTAR PUSTAKAIqbal M. dan Sumaryanto. 2007. StrategiPengendalian Alih Fungsi LahanPertanian Bertumpu PadaPartisipasi Masyarakat. AnalisisKebijakan Pertanian. Volume 5 Juni 2007 167-182Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah Potensi Dampak, PolaPemanfaatannya, dan FaktorDeterminan. Forum Penelitian AgroEkonomi Volume 23, Nomor 1, Juni2005. Pusat Analisis SosialEkonomi dan Kebijakan dan Turner. of Natural ResourcesEnvironment. HarvesterWheatsheaf. Penelitian Dan PengembaganPerubahan Iklim Dan KebijakanPUSPIJAK Dan Forest carbonpartnership facility FCPF. Time Series Faktor-faktorSosial Ekonomi dan Kebijakanterhadap Perubahan PenggunaanLahan Analisis Time Series Faktor-faktor Sosial Ekonomi danKebijakan terhadap PerubahanPenggunaan Lahan. dan Susi W. 2012. Tren AlihFungsi Lahan Pertanian DiKabupaten Klaten. Jurnal SEPA Vol. 8 No. 2 Pebruari 2012 51 –182 ISSN 1829-9946Sekaran, Uma 2010. Research methodfor business A skill buildingapproach, 4th edition, John Wiley & 1996. Analisis PolaKonversi Sawah Serta DampaknyaTerhadap Produksi Beras StudiKasus di Jawa Timur. JurusanTanah, Fakultas Pertanian, ... Indonesia as the 4 th largest population in the world with continuous growing, settlements and industries are growing too. Those drive the changing of agricultural land to settlements and industries area [1]. In Indonesia the land changing trend is increasing. ...... The external factors include city movement the higher the density means the city will expand the area to surrounding area, demographics the increase of population lead the land need to increase and economic the land need for economic activity is increase. The last factor is policy regarding the land use change by government [1]. ... Zuhud RozakiEconomic development can affect many factors, such as agriculture and industry. These two sectors can significantly affect the economic health. Population growth encourages the employment opportunities to be increased. Industry becomes an area that can provide many job vacancies, but extend the industry is not easy because the side effect often takes agricultural land for operation. Industry in Special Region of Yogyakarta DIY is also growing like in other places. The land is changing from agricultural land to other functions. This phenomenon is gradually increasing year by year. This study aims to analyze the correlation between the industry growth and the decrease of agricultural land. The data from 2001 to 2016 were analyzed to know the correlation. The results ilustrate that there are significant correlations between industry growth and the decrease of agricultural land in Kulonprogo District, Bantul District, Sleman District, and Gunung Kidul District which are known as food production centers in DIY. Yogyakarta City does not have many agricultural lands, therefore there is no correlation between the industry growth and the decrease of agricultural land area. Therefore, develope the industry must consider the land that is used for expansion.... This is also exacerbated by erosion, especially by water and wind Saturday 2018. The higher value of land for non-agriculture economic problems and in addition to the decreasing ability of land ecological problems were the reasons for the owner to change or sell it Nurhidayah and Karjoko 2017;Nuryaman 2017. This of course, exacerbated food problems in terms of quantity and quality of the land. ...Pekarangan as one of the potential natural resources and closest to the family can be the right and strategic choice to be used in realizing family-scale food resiliency. The research was conducted in Transmigration area of East Lampung from June 2021 to December 2021. The determination of the pekarangan sample by purposive sampling was carried out on four transmigration ethnics, the Javanese 100 samples, the Sundanese 100 samples, the Balinese 100 samples , and the Madurese 13 population, as well as local transmigration, the Lampungnese 100 samples. Pekarangan model is determined from species diversities on agroforestry system and its plant multistorey condition. The results of identification found three agroforestry systems as a pekarangan model, the agroforest system Maduranese pekarangan, agrosilvopastoral Balinese, Javanese, and Lampungnese pekarangans, and agrosilvopastoralfishery Sundanese pekarangan. Each agroforestry system contributed to food sources by agroforest, to agrosilvopastoral, and agrosilvopastoralfishery.Bambang Irawanstrong>English Conversion of wetland area into non-agricultural uses raises economic, social, and environmental problems. This phenomenon is a serious problem for food security because it is unavoidable and its impact on food production decrease is permanent, accumulative, and progressive. To control wetland conversion the government launched many regulations but this formal approach seems ineffective due to various factors. Accordingly, policies revitalization including economic and social approaches should be developed. Principally, future policy of wetland conversion should be intended 1 to reduce economic and social factors that stimulate conversion of wetland area, 2 to control the acreage, location, and type of wetland area conversed in order to minimize the negative impacts, and 3 to neutralize negative impacts through investments funded by the private companies involved in the conversion. Indonesian Konversi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian seperti kompleks perumahan, kawasan industri, kawasan perdagangan, dan sarana publik dapat menimbulkan dampak negatif secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Bagi ketahanan pangan nasional, konversi lahan sawah merupakan ancaman yang serius, mengingat konversi lahan tersebut sulit dihindari sementara dampak yang ditimbulkan terhadap masalah pangan bersifat permanen, kumulatif, dan progresif. Banyak peraturan yang diterbitkan pemerintah untuk mengendalikan konversi lahan sawah tetapi pendekatan yuridis tersebut terkesan tumpul akibat berbagai faktor. Sehubungan dengan itu maka diperlukan revitalisasi kebijakan dalam mengendalikan konversi lahan melalui pengembangan pendekatan ekonomi dan pendekatan sosial. Pada intinya kebijakan pengendalian konversi lahan di masa yang akan datang perlu diarahkan untuk mencapai tiga sasaran yaitu 1 menekan intensitas faktor sosial dan ekonomi yang dapat merangsang konversi lahan sawah, 2 mengendalikan luas, Iokasi, den jenis lahan sawah yang dikonversi dalam rangka memperkecil potensi dampak negatif yang ditimbulkan, dan 3 menetralisir dampak negatif konversi lahan sawah melalui kegiatan investasi yang melibatkan dana perusahaan swasta pelaku konversi SekaranIntroduction to research - Scientific investigation - The research process steps 1 to 3 the broad problem area, preliminary data gathering, problem definition - The research process steps 4 and 5 theoretical framework hypothesis development - The research process step 6 elements of research design - Experimental designs - Measurement of variables operational definition and scales - Measurement scaling, reliability, validity - Data collection methods - Sampling - Data analysis and interpretation - The research report - Managerial decision making and researchStrategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu Pada Partisipasi MasyarakatM IqbalSumaryantoIqbal M. dan Sumaryanto. 2007. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 2, Juni 2007 167-182Tren Alih Fungsi Lahan Pertanian Di Kabupaten KlatenU RhinaW Dan SusiRhina dan Susi W. 2012. Tren Alih Fungsi Lahan Pertanian Di Kabupaten Klaten. Jurnal SEPA Vol. 8 No. 2 Pebruari 2012 51 -182 ISSN 1829-9946Analisis Pola Konversi Sawah Serta Dampaknya Terhadap Produksi Beras Studi Kasus di Jawa TimurS C WibowoWibowo, 1996. Analisis Pola Konversi Sawah Serta Dampaknya Terhadap Produksi Beras Studi Kasus di Jawa Timur. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. .